Saturday, May 9, 2009

Cinta Tanpa Syarat

Dikisahkan, ada sebuah keluarga besar. Kakek dan nenek mereka
merupakan pasangan suami istri yang tampak serasi dan selalu harmonis
satu sama lain. Suatu hari, saat berkumpul bersama, si cucu bertanya
kepada mereka berdua, "Kakek, Nenek, tolong beritahu kepada kami resep
akur dan cara Kakek dan Nenek mempertahan cinta selama ini agar kami
yang muda-muda bisa belajar."
Mendengar pertanyaan itu, sesaat kakek dan nenek beradu pandang sambil
saling melempar senyum. Dari tatapan keduanya, terpancar rasa kasih yang
mendalam di antara mereka. "Aha, Nenek yang akan bercerita dan
menjawab pertanyaan kalian," kata kakek.
Sambil menerawang ke masa lalu, nenek pun memulai kisahnya. "Ini
pengalaman kakek dan nenek yang tak mungkin terlupakan dan rasanya
perlu kalian dengar dengan baik. Suatu hari, kami berdua terlibat obrolan
tentang sebuah artikel di majalah yang berjudul ‘bagaimana memperkuat
tali pernikahan'. Di sana dituliskan, masing-masing dari kita diminta
mencatat hal-hal yang kurang disukai dari pasangan kita. Kemudian,
dibahas cara untuk mengubahnya agar ikatan tali pernikahan bisa lebih
kuat dan bahagia. Nah, malam itu, kami sepakat berpisah kamar dan
mencatat apa saja yang tidak disukai. Esoknya, selesai sarapan, nenek
memulai lebih dulu membacakan daftar dosa kakekmu sepanjang kurang
lebih tiga halaman. Kalau dipikir-pikir, ternyata banyak juga, dan herannya
lagi, sebegitu banyak yang tidak disukai, tetapi tetap saja kakek kalian
menjadi suami tercinta nenekmu ini," kata nenek sambil tertawa. Mata
tuanya tampak berkaca-kaca mengenang kembali saat itu.
Lalu nenek melanjutkan, "Nenek membacanya hingga selesai dan kelelahan.
Dan, sekarang giliran kakekmu yang melanjutakan bercerita." Dengan suara
perlahan, si kakek meneruskan. "Pagi itu, kakek membawa kertas juga,
tetapi.... kosong. kakek tidak mencatat sesuatu pun di kertas itu. Kakek
merasa nenekmu adalah wanita yang kakek cintai apa adanya, kakek tidak
ingin mengubahnya sedikit pun. Nenekmu cantik, baik hati, dan mau
menikahi kakekmu ini, itu sudah lebih dari cukup bagi kakek."
Nenek segera menimpali, "Nenek sungguh sangat tersentuh oleh
pernyataan kakekmu itu sehingga sejak saat itu, tidak ada masalah atau
sesuatu apa pun yang cukup besar yang dapat menyebabkan kami
bertengkar dan mengurangi perasaan cinta kami berdua."
Sering kali di kehidupan ini, kita lebih banyak menghabiskan waktu dan
energi untuk memikirkan sisi yang buruk, mengecewakan, dan yang
menyakitkan. Padahal, pada saat yang sama kita pun sebenarnya punya
kemampuan untuk bisa menemukan banyak hal indah di sekeliling kita.
Saya yakin dan percaya, kita akan menjadi manusia yang berbahagia jika
kita mampu berbuat, melihat, dan bersyukur atas hal-hal baik di kehidupan
ini dan senantiasa mencoba untuk melupakan yang buruk yang pernah
terjadi. Dengan demikian, hidup akan dipenuhi dengan keindahan,
pengharapan, dan kedamaian.

Aku

aku tak pernah berhenti... aku terus belajar untuk memahami, apa , siapa , mengapa dan bagaimana hidup dan mati. aku tak akan pernah berhenti belajar , untuk selalu mengerti . Karena hidup ku tinggal mengghitung waktu.....saat aku menyadari, waktuku tinggal sesaat lagi, aku harus berjuang untuk meraih kursi kebahagiaan-Mu

Tuhan dan Waktu

Segala sesuatu itu ada waktunya. Tak perlu kuatir.
Bila waktumu tlah tiba untuk menjadi dan mendapatkan apapun, tak akan ada yang bisa menolak.

Kalau tuan percaya ada tuhan, maka percayalah bahwa Tuhan 'bersembunyi' di balik sang waktu!

Friday, May 8, 2009

memperbaiki mutu pendidikan melalui team work

Istilah “Team” merujuk kepada suatu kelompok yang bekerja sama untuk mencapai suatu misi atau tujuan tertentu. Team memiliki bentuk, misi, dan durasi yang beragam. Karolyn J. Snyder and Robert H. Anderson (1986) mengidentifikasi dua tipe team, yaitu team permanen dan team sementara. Team permanen mengkhususkan dalam fungsi tertentu yang dilakukan secara berkelanjutan. Sedangkan, team sementara merupakan team yang diorganisasikan hanya untuk kepentingan dan tujuan jangka pendek yang kemudian dapat dibubarkan kembali, setelah pekerjaan selesai. Biasanya bertugas menangani proyek yang bersifat sementara.

Dengan mengutip pemikiran Cunningham and Gresso, Oswald (1996) mengemukakan dua faktor esensial dalam suatu team yang dapat semakin memantapkan budaya team (culture team), yaitu: bonding (ikatan) dan cohesiveness (kesatupaduan). Bonding akan memastikan bahwa anggota team memiliki komitmen yang kuat, misalnya terhadap waktu, pengetahuan, keterampilan dan energi untuk mencapai tujuan team. Team yang terikat akan lebih enthusias, loyal kepada organisasi dan team itu sendiri. Para anggota dapat memulai proses pengikatan ini pada saat pertemuan (rapat) pertama kali, mereka menentukan tujuan, peran, dan tanggunggjawab individu dan kelompok. Cohesiveness (kesatupaduan) didefinsiikan oleh Cunningham dan Gresso sebagai rasa kebersamaan dalam kelompok, yang ditandai oleh adanya rasa memiliki dan keterkaitan diantara sesama anggota.

Langkah awal untuk membentuk sebuah team yang baik adalah setiap anggota terlebih dahulu harus memahami tujuan dan misi team secara jelas. Setiap anggota seharusnya mampu menjawab pertanyaan “ Mengapa saya berada disini”, demikian dikemukakan oleh Margot Helphand (1994). Berikutnya, menentukan peran dan tanggung jawab masing-masing anggota. Dalam hal ini, Yadi Heryadi mengemukakan beberapa peran penting dalam suatu Team :
Pencatat yaitu anggota Team yang bertugas mendokumentasikan semua kegiatan yang dilakukan oleh Team, termasuk mencatat hal-hal penting hasil rapat-rapat, serta membuat notulen rapat-rapat.
Pencatat Waktu yaitu anggota Team yang bertugas mengingatkan Team berjalan sesuai jadwal.
Penjaga Gawang yaitu anggota Team yang bertugas menyemangati anggota Team yang lain sehingga terjadi keseimbangan partisipasi seluruh anggota, dan
Devil’s advocate yaitu anggota Team yang pandangannya berbeda dengan pandangan anggota Team yang lain, sehingga isu isu yang ada dilihat dari berbagai sisi.

Dalam sebuah team work perlu adanya seorang ketua atau pemimpin yang bertugas untuk mengendalikan seluruh kegiatan team, baik dalam perencanaan, pengimplementasian, maupun penilaian. Ketua bisa dipilih oleh anggota atau ditunjuk oleh pihak yang memiliki kewenangan.

Yadi Haryadi mengetengahkan tentang ciri-ciri ketua dan anggota team yang baik.

Ciri-ciri ketua team yang baik adalah:
Bekerja sesuai konsensus
Berbagi secara terbuka dan secara otentik dalam hal perasaan, opini, pendapat, pemikiran, dan persepsi seluruh anggota Team terhadap masalah dan kondisi
Memberi kesempatan anggota dalam proses pengambilan keputusan
Memberi kepercayaan penuh dan dukungan yang nyata terhadap anggota Team
Mengakui masalah yang terjadi sebagai tanggung jawabnya keteam bang menyalahkan orang lain
Pada waktu mendengarkan pendapat orang lain, berupaya untuk mendengar dan menginterpretasikan pendapat orang dari sudut pandang yang lain
Berupaya mempengaruhi anggota dengan cara mengikutsertakan mereka dalam berbagai isu

Sedangkan ciri-ciri anggota team yang baik adalah:
Memberi semangat pada anggota Team yang lain untuk berfkembang
Respek dan toleran terhadap pendapat berbeda dari orang lain
Mengakui dan bekerja melalui konflik secara terbuka
Memperteam bangkan dan menggunakan ide dan saran dari orang lain
Membuka diri terhadap masukan (feedback) atas perilaku dirinya
Mengerti dan bertekad memenuhi tujuan dari Team
Tidak memposisikan diri dalam posisi menang atau kalah terhadap anggota Team yang lain dalam melakukan kegiatan
Memiliki kemampuan untuk mengerti apa yang terjadi dalam Team

Larry Lozette mengemukakan tentang faktor-faktor yang dapat menyebabkan kegagalan team, yaitu : (1) anggota tidak memahami tujuan dan misi team, (2) anggota tidak memahami peran dan tanggung jawab yang dipikulnya, (3) anggota tidak memahami bagaimana mengerjakan tugas atau bagaimana bekerja sebagai bagian dari suatu team, (4) anggota menolak peran dan tanggung jawabnya.

Penerapan konsep Team Work dalam pendidikan, khususnya di sekolah akan muncul dalam berbagai bentuk. Snyder and Anderson, menyebutkan bahwa team work di sekolah, dapat berbentuk team manajemen (management team) yang akan membantu kepala sekolah dalam pengambilan keputusan atau memecahkan masalah-masalah yang muncul di sekolah. Atau mungkin muncul dalam bentuk team khusus, yang mengerjakan tugas-tugas khusus pula, seperti: team pengembang kurikulum, team bimbingan dan konseling dan sebagainya, yang intinya team-team tersebut dibentuk untuk kepentingan peningkatan mutu pelayanan pendidikan di sekolah.

Selain itu penerapan konsep team work dalam pendidikan dapat digunakan kepentingkan peningkatan proses pembelajaran yang dilaksanakan guru, misalnya melalui kegiatan Penelitian Tindakan Kelas, Lesson Study, atau supervisi.

Konsep team work telah diadopsi pula sebagai bagian dari strategi pembelajaran, yang dikenal dengan sebutan Collaborative Teamwork Learning, yaitu suatu model pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk untuk mengembangkan kemampuan siswa bekerja secara kolaboratif dalam Team.

Terdapat beberapa alasan pentingnya penerapan konsep team work di sekolah diantaranya : (1) dengan berusaha melibatkan setiap orang dalam proses pengambilan keputusan, maka diharapkan setiap orang akan dapat lebih bertanggung jawab dalam mengimplementasikan setiap keputusan yang diambil, (2) setiap orang dapat saling belajar tentang berbagai pemikiran inovatif dari orang lain secara terus menerus, (3) informasi dan tindakan akan lebih baik jika datang dari sebuah kelompok dengan sumber dan keterampilan yang beragam, (4) memungkinkan terjadinya peningkatan karena setiap kesalahan yang terjadi akan dapat diketahui dan dikoreksi, dan (5) adanya keberanian mengambil resiko karena adanya kekuatan kolektif dari kelompok.

Sumber :

Sandra A. Howard (1999) Guiding Collaborative Teamwork in The Classroom.

Online : http://www.uncwil.edu/cte/et/articles/howard/

Lori Jo Oswald. (1996) Work Teams in Schools. ERIC Digest 103

Online : http://www.eric.ed.gov/ERICWebPortal/Home

Yadi Haryadi (tt). Team Work. (Bahan Presentasi Tim Pengembangan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah)

M. Asrori. Collaborative Teamwork Learning: Suatu Model Pembelajaran untuk Mengembangkan Kemampuan Mahasiswa Bekerja secara Kolaboratif dalam Tim.

Online : http://www.depdiknas.go.id/

6 mitos tentang kreativitas

Teresa Amabile telah melakukan studi tentang kreativitas hampir selama 30 tahun, melalui kerjasamanya dengan para mahasiswa kandidat Ph.D, manajer berbagai jenis perusahaan dan mengumpulkan 12 000 jurnal harian dan serta berbagai aktivitas lainnya yang terkait dengan proyek kreativitas. Berdasarkan hasil telaahannya dia mengungkapkan 6 mithos tentang kreativitas yang terjadi selama ini. Keenam mithos tersebut adalah.

1. Creativity Comes From Creative Types

Ada anggapan bahwa kreativitas seolah-seolah hanya berasal dan milik kalangan atau golongan tertentu, misalnya kelompok orang-orang yang bergerak dalam bidang R & D, marketing atau advertising, yang didukung dengan bakat, pengalaman, serta kecerdasan yang luar biasa. Namun studi yang dilakukan menunjukkan bahwa seseorang yang memiliki kecerdasan normal pun sesungguhnya dapat memiliki kemampuan untuk bekerja secara kreatif, hanya mereka kadang-kadang tidak menyadari potensi kreatifnya, karena mereka bekerja atau berada pada lingkungan yang mengahalangi tumbuhnya motivasi intrinsik. Motivasi instrinsik inilah justru merupakan faktor yang dianggap dapat menyalakan seseorang untuk bekerja secara kreatif.

2. Money Is a Creativity Motivator

Banyak orang beranggapan bahwa uang dianggap sebagai pemicu dan pendorong kreativitas. Studi eksperimental yang telah dilakukan menunjukkan bahwa ternyata uang bukanlah apa-apa. Ketika ditanyakan kepada sejumlah orang: “Termotivasi oleh penghargaan (baca: bonus) apa hari ini Anda bekerja?. Mereka menjawab “ Itu pertanyaan yang tidak relevan”. Hal ini menunjukkan bahwa dalam bekerja mereka tidak hanya berfikir tentang berapa upah yang harus diterima per harinya.

Tentunya setiap orang membutuhkan kompensasi yang adil atas kinerjanya, tetapi ternyata banyak orang cenderung meletakkan nilai–nilai (value) yang lebih jauh, dan tidak hanya sekedar uang. Orang menjadi sangat kreatif tatkala lingkungan kerja memberikan ruang yang terbuka bagi dirinya untuk berkreasi dan memperoleh perluasan keterampilan untuk kemajuan nyata dalam bekerjanya. Hal yang penting agar orang menjadi kreatif adalah berusaha menempatkan mereka tidak hanya berdasarkan pengalaman kerja semata tetapi juga harus memperhatikan minatnya (interest), sehingga mereka akan lebih peduli terhadap apa yang dikerjakannya.

3. Time Pressure Fuels Creativity

Banyak orang berfikiran bahwa orang menjadi kreatif ketika dia bekerja di bawah tekanan deadline. Namun hasil studi menunjukkan kebalikannnya. Orang menjadi miskin kreativitas ketika harus bertempur dengan waktu. Tekanan waktu yang hebat dapat mencekik kreativitas sehingga dalam bekerja mereka tidak mampu lagi untuk berusaha mendalami masalah-masalah yang ada.

Kreativitas mensyaratkan adanya masa inkubasi, orang membutuhkan waktu untuk mendalami suatu masalah dan membiarkan untuk menggelembungkan segala pemikirannya.

Bekerja dengan deadline akan menimbulkan banyak masalah sehingga banyak menyita waktu mereka untuk melakukan terobosan-terobosan pemikiran kreatifnya. Agar orang menjadi kreatif harus terlindungi dari berbagai gangguan atau masalah, sehingga dia dapat lebih fokus dalam bekerjanya.

4. Fear Forces Breakthroughs

Seringkali orang beranggapan bahwa ketakutan, kecemasan dan kesedihan akan menjadi kekekuatan seseorang untuk menjadi kreatif, sebagaimana banyak dibicarakan dalam beberapa literatur psikologi. Tetapi hasil studi tidak melihat ke arah itu. Kreativitas muncul justru pada saat orang merasa senang dan bahagia dalam bekerja. Terdapat korelasi antara kebahagiaan seseorang dalam bekerja dengan tingkat kreativitasnya. Bahkan, kebahagaian seseorang pada suatu hari seringkali menjadi ramalan kreativitasnya pada hari berikutnya

5. Competition Beats Collaboration

Ada semacam keyakinan, khususnya di kalangan dunia industri high –tech dan keuangan bahwa kompetisi internal dapat membantu terciptanya inovasi. Namun hasil survey menunjukkan bahwa kreativitas justru muncul pada saat orang bekerja secara kolaboratif. Melaui team work orang dapat menunjukkan rasa percaya dirinya, saling berbagi dan memperdebatkan berbagai pemikirannya. Namun ketika orang harus dikompetisikan malah mereka menjadi enggan dan menghentikan untuk saling berbagi informasi dan pengalamannya.

6. A Streamlined Organization Is a Creative Organization

Banyak orang beranggapan bahwa organisasi yang ramping adalah organisasi yang kreatif. Memang benar, bahwa ukuran organisasi yang besar seringkali mengalami kesulitan untuk mengendalikan karyawan. Tetapi jika, tabah dan bersabar menghadapinya justru akan menghasilkan kekuatan, kreativitas dan kolaborasi. Yang terpenting disini adalah bagaimana setiap orang dapat diberikan kesempatan untuk bekerja secara otonom dan mencintai pekerjaannya, memiliki komitmen, terjalin komunikasi dan kolaborasi, sehingga pada suatu saat kreativitas akan muncul dengan sendirinya.

Sumber:

adaptasi dan disarikan dari “The 6 Myths Of Creativity” karya Bill Breen (2004)

http://www.fastcompany.com/magazine/89/creativity.html

Beberapa Refleksi untuk Anda:
Apakah Anda termasuk orang yang termakan oleh keenam mithos tersebut?
Sertifikasi guru yang disertai kenaikan penghasilan, akankah menjadi pemicu terciptanya kreativitas mereka
Dengan jumlah guru di Indonesia yang relatif banyak, apakah mungkin untuk terciptanya kreativitas?
Jika Anda hanya berkecerdasan dengan kategori normal, mungkinkah Anda menjadi seorang yang kreatif dalam bekerja?

kepemimpinan perempuan

Dalam pandangan tradisional, perempuan diidentikkan dengan sosok yang lemah, halus dan emosional. Sementara laki-laki digambarkan sebagai sosok yang gagah, berani dan rasional. Pandangan ini telah memposisikan perempuan sebagai makhluk yang seolah-olah harus dilindungi dan senantiasa bergantung pada kaum laki-laki. Akibatnya, jarang sekali perempuan untuk bisa tampil menjadi pemimpin, karena mereka tersisihkan oleh dominasi laki-laki dengan male chauvinistic-nya. Dalam konteks pendidikan, Goldring dan Chen (1994) mengatakan bahwa para perempuan di Inggris Raya dan di manapun kebanyakan perempuan hanya berperan dalam profesi mengajar, namun relatif sedikit dan jarang ada yang memiliki posisi-posisi penting pemegang otoritas dalam sejumlah sekolah menengah perguruan tinggi dan adminsitrasi lokal pendidikan.

Sejalan dengan gerakan emansipasi dan gerakan kesetaraan gender yang intinya berusaha menuntut adanya persamaan hak perempuan dalam berbagai bidang kehidupan, maka setahap demi setahap telah terjadi pergeseran dalam mempersepsi tentang sosok perempuan. Mereka tidak dipandang lagi sebagai sosok lemah yang selalu berada pada garis belakang, namun mereka bisa tampil di garis depan sebagai pemimpin yang sukses dalam berbagai sektor kehidupan, yang selama ini justru dikuasai oleh kaum laki-laki.

Anda mungkin pernah menyaksikan acara Fear Factor, sebuah acara reality show di televisi (pernah ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi swasta di Indonesia) yang menyuguhkan tantangan yang sangat ekstrem kepada para pesertanya untuk berkompetisi memperebutkan sejumlah uang, Para peserta kadang-kadang terdiri dari gabungan laki-laki dan perempuan. Mereka berkompetisi melalui beberapa tantangan ekstrem untuk menguji ketahanan fisik dan psikisnya, seperti makan kecoa, berkubang dengan kotoran dan bangkai, dan berbagai jenis tantangan ekstrem lainnya (tentunya penyelenggara sudah memperhitungkan secara cermat standar keamanannya). Dari beberapa episode tayangan, ternyata tidak sedikit yang menjadi pemenangnya justru dari kalangan perempuan. Artinya, mithos yang selama ini perempuan dianggap sebagai makhluk lemah, dengan menyaksikan tayangan acara televisi tersebut kita bisa melihat bahwa sebenarnya kaum perempuan pun bisa menunjukkan dirinya sebagai makhluk yang luar biasa kuat dan berani, dan tidak kalah dari kaum laki-laki. Secara esensial dalam manajemen dan kepemimpinan pun pada dasarnya tidak akan jauh berbeda dengan kaum laki-laki. Kita mencatat beberapa tokoh perempuan yang berhasil menjadi pemimpin, Margareth Tatcher di Inggris yang dijuluki sebagai “Si Wanita Besi”, Indira Gandhi di India, Cory Aquino di Philipina, Megawati di Indonesia dan tokoh-tokoh perempuan lainnya.

Dalam konteks pendidikan, fenomena kepemimpinan perempuan memang telah menjadi daya tarik tersendiri untuk diteliti lebih jauh. Studi yang dilakukan Coleman (2000) menunjukkan kepala-kepala sekolah dan para manajer senior perempuan lainnya di Inggris dan Wales mengindikasikan mereka cenderung berperilaku model kepemimpinan transformatif dan partisipatif. Studi lainnya tentang kepala-kepala guru dan dan kepala-kepala sekolah perempuan di Amerika Serikat, Inggris Raya, Australia, Selandia Baru dan Kanada menunjukkan bahwa para manajer perempuan tampil bekerja secara kooperatif dan memberdayakan koleganya serta memfungsikan team work secara efektif (Blackmore, 1989; Hall, 1996; Jirasinghe dan Lyons, 1996). Hasil lain dari studi yang dilakukan Jirasinghe dan Lyons, (1996) mendeskripsikan tentang kepribadian pemimpin perempuan sebagai sosok yang lebih supel, demokratis, perhatian, artistik, bersikap baik, cermat dan teliti, berperasaan dan berhati-hati. Selain itu, mereka cenderung menjadi sosok pekerja tim, lengkap dan sempurna. Mereka juga mengidentifikasi diri dan mempersepsi dirinya sebagai sosok yang lebih rasional, relaks, keras hati, aktif dan kompetitif.

Dalam hal-hal tertentu terdapat perbedaan penting antara laki-laki dan perempuan dalam manajemen dan kepemimpinan, sebagaimana disampaikan oleh Shakeshaft (1989) berdasarkan hasil peninjauan ulang penelitian di Amerika Serikat, bahwa:
Perempuan cenderung memiliki lebih banyak melakukan kontak dengan atasan dan bawahan, guru dan murid.
Perempuan menghabiskan banyak waktu dengan para anggota komunitas dan dengan koleganya, walaupun mereka bukanlah perempuan.
Mereka lebih informal.
Mereka peduli terhadap perbedaan-perbedaan individual murid.
Mereka lebih memandang posisinya sebagai seorang pemimpin pendidikan daripada seorang manajer, dan melihat kerja sebagai suatu pelayanan terhadap komunitas
Terdapat suatu sikap kurang menerima terhadap para pemimpin perempuan dari pada laki-laki. Oleh karenanya, para pemimpin perempuan hidup dalam dunia yang terpendam dan gelisah.
Mereka bisa mendapatkan kepuasan yang banyak dari instruksi supervisi dan sementara laki dari adminsitrasi.
Dalam komunikasi, mereka dapat tampil lebih sopan dan tentatif daripada laki-laki, yang cenderung sederhana dalam memberikan statemen. Bahasa tubuh juga berbeda, yang menunjukkan bahwa perempuan lebih rendah daripada laki-laki.
Perempuan cenderung lebih menggunakan model manajemen partisipatoris, dan menggunakan strategi-strategi kolaboratif dalam menyelesaikan konflik.

Kendati demikian, sangat disayangkan dari berbagai penelitian tentang kesuksesan kepemimpinan perempuan dalam organisasi, khususnya organisasi pendidikan, tampaknya jarang sekali yang mengungkap tentang korelasi kesuksesan perempuan dalam memimpin organisasi dengan kehidupan keluarganya. Apakah mereka dapat sukses juga dalam memerankan dirinya sebagai seorang ibu atau seorang istri? Apakah para suami merasa bahagia dan tidak merasa kecil hati dengan kesuksesan istrinya? Apakah putera-puterinya tidak menjadi terlantar? Mungkin diantara pembaca ada yang tertarik untuk menelitinya lebih lanjut.

Sumber utama dan diambil dari :

Tony Bush & Marianne Coleman. 2006. Manajemen Strategis Kepemimpinan Pendidikan (Terj. Fahrurrozi). Jogjakarta: IRCiSoD

profil manajer dan pemimpin pendidikan yang dibutuhkan saat ini

Untuk menghadapi tantangan dan permasalahan pendidikan nasional yang amat berat saat ini, mau tidak mau pendidikan harus dipegang oleh para manajer dan pemimpin yang sanggup menghadapi berbagai tantangan dan permasalahan yang ada, baik pada level makro maupun mikro di sekolah.

Merujuk pada pemikiran Rodney Overton (2002) tentang profil manajer dan pemimpin yang dibutuhkan saat ini, berikut ini diuraikan secara singkat tentang 20 profil manajer dan pemimpin pendidikan yang yang dibutuhkan saat ini.

1. Mampu menginspirasi melalui antusiasme yang menular.

Pendidikan harus dikelola secara sungguh-sungguh, oleh karena itu para manajer (pemimpin) pendidikan harus dapat menunjukkan semangat dan kesungguhan di dalam melaksanakan segenap tugas dan pekerjaanya. Semangat dan kesungguhan dalam bekerja ini kemudian ditularkan kepada semua orang dalam organisasi, sehingga mereka pun dapat bekerja dengan penuh semangat dan besungguh-sungguh.

2. Memiliki standar etika dan integritas yang tinggi.

Penguasaan standar etika dan integritas yang tinggi oleh para manajer atau pemimpin pendidikan tidak hanya terkait dengan kepentingan kepemimpinan dalam organisasi, namun juga tidak lepas dari hakikat pendidikan itu sendiri. Pendidikan adalah usaha untuk menciptakan manusia-manusia yang memiliki standar etika dan kejujuran yang tinggi. Oleh karena itu, pendidikan sudah seharusnya dipegang oleh para manajer (pemimpin) yang memiliki standar etika dan kejujuran yang tinggi, sehingga pada gilirannya semua orang dalam organisasi dapat memiliki standar etika dan kejujuran yang tinggi.

3. Memiliki tingkat energi yang tinggi.

Mengurusi pendidikan sebenarnya bukanlah mengurusi hal-hal yang sifatnya sederhana, karena didalamnya terkandung usaha untuk mempersiapkan suatu generasi yang akan mengambil tongkat estafet kelangsungan suatu bangsa.di masa yang akan datang. Kegagalan pendidikan adalah kegagalan kelanjutan suatu generasi. Untuk mengurusi pendidikan dibutuhkan energi dan motivasi yang tinggi dari para manajer dan pemimpin pendidikan. Pendidikan membutuhkan manajer (pemimpin) yang memiliki ketabahan, daya tahan (endurance) dan pengorbanan yang tinggi dalam mengelola pendidikan.

4. Memiliki keberanian dan komitmen

Saat ini pendidikan dihadapkan pada lingkungan yang selalu berubah-ubah, yang menuntut keberanian dari para manajer (pemimpin) pendidikan untuk melakukan perubahan-perubahan agar bisa beradaptasi dengan tuntutan perubahan yang ada. Selain itu, pendidikan membutuhkan manajer (pemimpin) yang memiliki komitmen tinggi terhadap pekerjaannya. Kehadirannya sebagai manajer (pemimpin) benar-benar dapat memberikan kontribusi yang signifikan bagi kemajuan organisasi, yang didasari rasa kecintaannya terhadap pendidikan.

5. Memiliki tingkat kreativitas yang tinggi dan bersikap nonkonvensional.

Saat ini permasalahan dan tantangan yang dihadapi pendidikan sangat kompleks, sehingga menuntut cara-cara penyelesaian yang tidak mungkin hanya dilakukan melalui cara-cara konvensional. Manajer (pemimpin) pendidikan yang memiliki kreativitas tinggi akan mendorong terjadinya berbagai inovasi dalam praktik-praktik pendidikan, baik pada tataran manjerialnya itu sendiri maupun inovasi dalam praktik pembelajaran siswa.

6. Berorientasi pada tujuan, namun realistis

Tujuan pendidikan berbeda dengan tujuan-tujuan dalam bidang-bidang lainnya. Oleh karena itu, seorang manajer (pemimpin) pendidikan harus memahami tujuan-tujuan pendidikan. Di bawah kepemimpinnanya, segenap usaha organisasi harus diarahkan pada pencapaian tujuan pendidikan dengan menjalankan fungsi-fungsi manajemen beserta seluruh substansinya. Pencapaian tujuan pendidikan disusun secara realistis, dengan ekspektasi yang terjangkau oleh organisasi, tidak terlalu rendah dan juga tidak terlalu tinggi.

7. Memiliki kemampuan organisasi yang tinggi

Kegiatan pendidikan adalah kegiatan yang melibatkan banyak komponen, yang di dalamnya membutuhkan upaya pengorganisasian secara tepat dan memadai. Bagaimana mengoptimalkan sumber daya manusia yang ada, bagaimana mengoptimalkan kurikulum dan pembelajaran, bagaimana mengoptimalkan sumber dana, dan bagaimana mengoptimalkan lingkungan merupakan hal-hal penting dalam pendidikan yang harus diorganisasikan sedemikian rupa, sehingga menuntut kemampuan khusus dari para manajer (pemimpin) pendidikan dalam mengorganisasikannya.

8. Mampu menyusun prioritas

Begitu banyaknya kegiatan yang harus dilakukan dalam pendidikan sehingga menuntut para manajer (pemimpin) pendidikan untuk dapat memilah dan memilih mana yang penting dan harus segera dilaksanakan dan mana yang bisa ditunda atau mungkin diabaikan. Kemampuan manajer (pemimpin) pendidikan dalam menyusun prioritas akan terkait dengan efektivitas dan efisiensi pendidikan.

9. Mendorong kerja sama tim dan tidak mementingkan diri sendiri, upaya yang terorganisasi.

Kegiatan dan masalah pendidikan yang sangat kompleks tidak mungkin diselesaikan secara soliter dan parsial. Manajer (pemimpin) pendidikan harus dapat bekerjasama dengan berbagai pihak, baik yang berada dalam lingkungan internal maupun eksternal. Demikian pula, manajer (pemimpin) pendidikan harus dapat mendorong para bawahannya agar dapat bekerjasama dengan membentuk team work yang kompak dan cerdas, sekaligus dapat meletakkan kepentingan organisasi di atas kepentingan pribadi.

10. Memiliki kepercayaan diri dan memiliki minat tinggi akan pengetahuan.

Masalah dan tantangan pendidikan yang tidak sederhana, menuntut para manajer (pemimpin) pendidikan dapat memiliki keyakinan diri yang kuat. Dalam arti, dia meyakini bahwa dirinya memiliki kemampuan dan kesanggupan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Dia juga memiliki keyakinan bahwa apa yang dilakukannya dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, sosial, moral maupun intelektual. Keyakinan diri yang kuat bukan berarti dia lantas menjadi seorang yang “over confidence”, mengarah pada sikap arogan dan menganggap sepele orang lain.. Di samping itu, sudah sejak lama pendidikan dipandang sebagai kegiatan intelektual. Oleh karena itu, seorang manajer (pemimpin) pendidikan harus dapat menunjukkan intelektualitas yang tinggi, dengan memiliki minat yang tinggi akan pengetahuan, baik pengetahuan tentang manajerial, pengetahuan tentang perkembangan pendidikan bahkan pengetahuan umum lainnya.

11. Sesuai dan waspada secara mental maupun fisik.

Tugas dan pekerjaan manajerial pendidikan yang kompleks membutuhkan kesiapan dan ketangguhan secara mental maupun fisik dari para manajer pendidikan. Beban pekerjaan yang demikian berat dan diluar kapasitas yang dimilikinya dapat mengganggu kesehatan mental dan fisik. Agar dapat menjalankan roda organisasi dengan baik, seseorang manajer (pemimpin) pendidikan harus dapat menjaga dan memelihara kesehatan fisik dan mentalnya secara prima. Selain itu, manajer (pemimpin) pendidikan harus dapat memperhatikan kesehatan mental dan fisik dari seluruh anggota dalam organisasinya.

12. Bersikap adil dan menghargai orang lain.

Dalam organisasi pendidikan melibatkan banyak orang yang beragam karakteristiknya, dalam kepribadian, keyakinan, cara pandang, pengetahuan, keterampilan, pengalaman dan sebagainya. Kesemuanya itu harus dapat diperlakukan dan ditempatkan secara proporsional oleh manajer (pemimpin). Manajer (pemimpin) pendidikan harus memandang dan menjadikan keragaman karakteristik ini sebagai sebuah kekuatan dalam organisasi, bukan sebaliknya.

3. Menghargai kreativitas

Untuk meningkatkan mutu pendidikan dibutuhkan sentuhan kreativitas dari semua orang yang terlibat di dalamnya. Tidak hanya menajer (pemimpin) yang dituntut untuk berfikir kreatif, tetapi semua orang dalam organisasi harus ditumbuhkan kreativitasnya. Pemikiran kreatif biasanya berbeda dengan cara-cara berfikir pada umumnya. Dalam hal ini, manajer (pemimpin) pendidikan harus dapat mengakomodasi pemikiran-pemikiran kreatif dari setiap orang dalam organisasi, yang mungkin saja pemikiran-pemikiran itu berbeda dengan sudut pandang yang dimilikinya.

14. Menikmati pengambilan resiko.

Tatkala keputusan untuk berubah dan berinovasi telah diambil dan segala resiko telah diperhitungkan secara cermat. Namun dalam implementasinya, tidak mustahil muncul hal-hal yang berasa di luar dugaan sebelumnya, maka dalam hal ini, manajer (pemimpin) pendidikan harus tetap menunjukkan ketenangan, keyakinan dan berusaha mengendalikan resiko-resiko yang muncul. Jika memang harus berhadapan dengan sebuah kegagalan, manajer (pemimpin) pendidikan harus tetap dapat menunjukkan tanggung jawabnya, tanpa harus mencari kambing hitam dari kegagalan tersebut. Selanjutnya, belajarlah dari pengalaman kegagalan tersebut untuk perbaikan pada masa-masa yang akan datang..

15. Menyusun pertumbuhan jangka panjang

Kegiatan pendidikan bukanlah kegiatan sesaat, tetapi memiliki dimensi waktu yang jauh ke depan. Seorang manajer (pemimpin) pendidikan memang dituntut untuk membuktikan hasil-hasil kerja yang telah dicapai pada masa kepemimpinannya, tetapi juga harus dapat memberikan landasan yang kokoh bagi perkembangan organisasi, jauh ke depan setelah dia menyelesaikan masa jabatannya. Kecenderungan untuk melakukan praktik “politik bumi hangus” harus dihindari. Yang dimaksud dengan “politik bumi hangus” disini adalah praktik kotor yang dilakukan manajer (pemimpin) pendidikan pada saat menjelang akhir jabatannya, misalnya dengan cara menghabiskan anggaran di tengah jalan, atau merubah struktur organisasi yang sengaja dapat menimbulkan chaos dalam organisasi, sehingga mewariskan masalah-masalah baru bagi manajer (pemimpin) yang menggantikannya.

16. Terbuka terhadap tantangan dan pertanyaan.

Menjadi manajer (pemimpin) pendidikan berarti dia akan dihadapkan pada sejumlah tantangan dan permasalahan yang harus dihadapi, merentang dari yang sifatnya ringan hingga sangat berat sekali. Semua itu bukan untuk dihindari atau ditunda-tunda tetapi untuk diselesaikan secara tuntas.

17. Tidak takut untuk menantang dan mempertanyakan.

Selain harus mampu menyelesaikan masalah-masalah yang sudah ada (current problems) secara tuntas, seorang manajer (pemimpin) pendidikan harus memiliki keberanian untuk memunculkan tantangan dan permasalahan baru, yang mencerminkan inovasi dalam organisasi. Dengan demikian, menjadi manajer (pemimpin) pendidikan tidak hanya sekedar melaksanakan rutinitas dan standar pekerjaan baku, tetapi memunculkan pula sesuatu yang inovatif untuk kemajuan organisasi.

18. Mendorong pemahaman yang mendalam untuk banyak orang.

Kegiatan pendidikan menuntut setiap orang dalam organisasi dapat memahami tujuan, isi dan strategi yang hendak dikembangkan dalam organisasi. Manajer (pemimpin) pendidikan berkewajiban memastikan bahwa setiap orang dalam organisasi dapat memahaminya secara jelas, sehingga setiap orang dapat memamahi peran, tanggung jawab dan kontribusinya masing-masing dalam organisasi. Selain itu, manajer (pemimpin) pendidikan harus dapat mengembangkan setiap orang dalam organisasi untuk melakukan perbuatan belajar sehingga organisasi pendidikan benar-benar menjadi sebuah learning organization.

19. Terbuka terhadap ide-ide dan pandangan baru.

Pandangan yang keliru jika pendidikan dipandang sebagai sebuah kegiatan monoton dan rutinitas belaka. Pendidikan harus banyak melahirkan berbagai inovasi yang tidak hanya dibutuhkan untuk kepentingan pendidikan itu sendiri tetapi juga kepentingan di luar pendidikan. Untuk dapat melahirkan inovasi, manajer (pemimpin) pendidikan harus terbuka dengan ide-ide dan pandangan baru, baik yang datang dari internal maupun eksternal, terutama ide dan pandangan yang bersumber dari para pengguna jasa (customer) pendidikan.

20. Mengakui kesalahan dan beradaptasi untuk berubah.

Asumsi yang mendasarinya adalah manajer (pemimpin) pendidikan adalah manusia, yang tidak luput dari kesalahan. Jika melakukan suatu kesalahan, seorang manajer (pemimpin) pendidikan harus memiliki keberanian untuk mengakui kesalahannya tanpa harus mengorbankan pihak lain atau mencari kambing hitam. Lakukan evaluasi dan perbaikilah kesalahan pada masa-masa yang akan datang. Jika memang kesalahan yang dilakukannya sangat fatal, baik secara moral, sosial, maupun yuridis atau justru dia terlalu sering melakukan kesalahan mungkin yang terbaik adalah adanya kesadaran diri bahwa sesungguhnya dia tidak cocok dengan tugas dan pekerjaan yang diembannnya, dan itulah pilihan yang terbaik bagi dirinya dan organisasi.

10 cara meningkatkan inovasi

Untuk menghadapi dinamika perubahan dan kompetisi yang sangat tajam dan ketat dan demi keberangsungan hidup organisasi itu sendiri, maka setiap orang dalam organisasi dituntut untuk dapat berfikir dan bertindak secara inovatif. Paul Sloane dalam sebuah tulisannya mengetengahkan 10 cara untuk meningkatkan inovasi dalam suatu organisasi, yakni:

1. Memiliki visi untuk berubah

Jangan berharap suatu tim akan menjadi inovatif apabila mereka tidak mengetahui tujuan yang hendak dicapai ke depan. Inovasi harus memiliki tujuan dan seorang pemimpin harus mampu menyatakan dan mendefinisikan tujuan secara jelas sehingga setiap orang dapat memahami dan mengingatnya. Para pemimpin besar banyak meluangkan waktu untuk menggambarkan dan menjelaskan visi, tujuan dan tantangan masa depan kepada setiap orang . Mereka berusaha meyakinkan setiap orang akan peran pentingnya dalam upaya mencapai visi dan tujuan, serta dalam menghadapi berbagai tantangan. Mereka mengilhami kepada setiap orang untuk menjadi enterpreneur yang bersemangat dan menemukan cara-cara yang inovatif untuk memperoleh kesuksesan.

2. Memerangi ketakutan akan perubahan

Para pemimpin inovatif senantiasa mengobarkan semangat pentingnya perubahan. Mereka berusaha menggantikan kepuasan atas kemapanan yang ada dengan kehausan akan ambisi. Mereka akan berkata, ” Saat ini kita memang sedang melakukan hal yang baik, tetapi kita tidak boleh berhenti dan berpuas diri dengan kemenangan yang ada, kita harus melakukan hal-hal yang lebih baik lagi”. Mereka menyampaikan pula bahwa saat ini kita sedang melakukan suatu spekulasi baru yang penuh resiko, dan jika kita tidak bergerak maka akan jauh lebih berbahaya. Mereka memberikan gambaran menarik tentang segala sesuatu yang hendak diraih pada masa mendatang. Oleh karena itu, satu-satunya cara menuju ke arah sana yaitu dengan berusaha memeluk perubahan.

3. Berfikir Seperti Pemodal yang Berani Mengambil Resiko

Seorang pemodal yang berani mengambil resiko akan menggunakan pendekatan portofolio, berusaha mencari keseimbangan antara kegagalan dengan kesuksesan. Mereka senang mempertimbangkan berbagai usulan atau gagasan tetapi tetap merasa nyaman dengan berbagai pemikiran yang menggambarkan tentang kegagalan-kegagalan yang mungkin akan diterima.

4. Memiliki Suatu Rencana Usulan yang Dinamis

Anda harus memfokus pada rencana usulan yang benar-benar hebat, setiap rencana mudah dilaksanakan, sumber tersedia dengan baik, responsif dan terbuka untuk semuanya. Berikan penghargaan dan respons yang wajar kepada karyawan serta para senior harus memliki komitmen agar karyawan tetap dapat menjaga kesegarannya dalam melaksanakan setiap pekerjaan.

5. Mematahkan Aturan

Untuk mencapai inovasi yang radikal, Anda harus memiliki keberanian manantang berbagai asumsi aturan yang ada di sekitar lingkungan. Bisnis bukan seperti permainan olah raga yang selalu terikat dengan aturan dan keputusan wasit, tetapi bisnis tak ubahnya seperti seni, yang di dalamnya memiliki banyak kesempatan untuk berfikir secara lateral, sehingga mampu menciptakan cara-cara baru tentang aneka benda dan jasa yang diinginkan para pelanggan.

6. Beri Setiap Orang Dua Pekerjaan

Berikan setiap orang dua pekerjaan pokok. Mintalah kepada mereka untuk melaksanakan pekerjaan sehari-hari mereka secara efektif dan pada saat yang bersamaan kepada mereka diminta pula untuk menemukan cara-cara baru dalam melaksanakan pekerjaannya. Doronglah mereka untuk bertanya pada diri sendiri tentang apa sebenarnya tujuan esensial dari peran saya? Hasil dan nilai riil apa yang bisa saya berikan kepada klien saya, baik internal maupun eksternal? Apakah ada cara yang lebih baik untuk memberikan dan mencapai nilai atau tujuan tersebut? Dan jawabannya selalu mengatakan “YA”. Tetapi, kebanyakan orang tidak pernah atau jarang menanyakan hal-hal seperti itu.

7. Kolaborasi

Beberapa eksekutif perusahaan memandang kolaborasi sebagai kunci sukses dalam inovasi. Mereka menyadari bahwa tidak semua dapat dilakukan hanya dengan mengandalkan pada sumber-sumber internal. Oleh karena itu, mereka melihat dunia luar dan mengajak organisasi lain sebagai mitra, sehingga bisa saling bertukar pengalaman dan keterampilan dalam team.

8. Menerima kegagalan

Pemimpin inovatif mendorong terbentuknya budaya eksperimen. Setiap orang harus dibelajarkan bahwa setiap kegagalan merupakan langkah awal dari perjalanan jauh menunju kesuksesan. Untuk menjadi orang benar-benar cerdas dan tangkas, setiap orang harus diberi kebebasan berinovasi, bereksperimen dan memperoleh kesuksesan dalam melakukan pekerjaannya, termasuk didalamnya mereka juga harus diberi kebebasan akan kemungkinan terjadinya kegagalan.

9. Membangun prototipe

Anda harus berani mencobakan suatu ide baru yang biaya dan resikonya relatif rendah ke dalam pasar (dunia nyata), kemudian lihat apa reaksi dari pelanggan dan orang-orang. Di sana sesungguhnya Anda akan lebih banyak belajar tentang dunia nyata, dibandingkan jika Anda hanya melakukan uji coba dalam laboratorium atau terfokus pada sekelompok orang saja.

10. Bersemangat

Anda harus fokus terhadap segala sesuatu yang ingin dirubah. Siap dan senantiasa bergairah dan bersemangat dalam menghadapi dan menanggulangi berbagai tantangan. Energi dan semangat yang Anda miliki akan menular dan mengilhami setiap orang. Tak ada gunanya jika Anda mengisi bus dengan penumpang yang selalu merasa asyik dengan dirinya sendiri. Anda membutuhkan dan menghendaki orang-orang dan para pendukung Anda dengan semangat yang berkobar-kobar. Anda mengharapkan setiap orang dapat meyakini bahwa upaya mencapai tujuan merupakan sesuatu yang amat penting dan bermanfaat.
Jika Anda menghendaki setiap orang dapat terinpirasi untuk menjadi inovatif, merubah cara-cara yang biasa mereka lakukan, dan untuk mencapai hasil yang luar biasa, maka Anda mutlak harus memiliki semangat yang menyala-nyala tentang apa yang Anda yakini dan Anda harus dapat mengkomunikasikannya setiap saat ketika Anda berbicara dengan orang.

*)) terjemahan bebas dari tulisan Paul Sloane, pengarang The Innovative Leader, yang berjudul “Ten Ways to Boost Innovation” dipublikasikan oleh Kogan Page. www.director.co.uk

sekolah sehat dan sekolah sakit

oleh : Akhmad Sudrajat, M.Pd.

Sekolah sebagai sebuah organisasi dituntut untuk dapat memecahkan: (1) masalah tentang bagaimana memperoleh sumber daya yang mencukupi dan dapat menyesuaikan dengan tuntutan lingkungannya, (2) masalah tentang upaya-upaya pencapaian tujuan pendidikan di sekolah, (3) masalah pemeliharaan solidaritas, dan (4) masalah upaya menciptakan dan mempertahankan keunikan nilai yang dkembangkan di sekolah.

Keempat hal di atas menjadi kerangka acuan dalam mengembangkan sekolah sehat. Sekolah sehat pada dasarnya merupakan bagian dari kajian tentang iklim sekolah atau budaya sekolah, yang di dalamnya membicarakan tentang kemampuan sekolah untuk mempertahankan kelangsungan hidup organisasi sekolah dan kemampuan sekolah dalam mengatasi berbagai tekanan eksternal yang dapat mengganggu terhadap pencapaian tujuan pendidikan di sekolah. Dalam bukunya yang berjudul Educational Administration, Wayne K. Hoy dan Cecil G. Miskel (2003) memaparkan tentang kriteria sekolah sehat, yang terbagi ke dalam tiga level dan tujuh dimensi, yang dijadikannya sebagai kerangka penyusunan Organizational Helath Inventory (OHI).

A.Level Lembaga,

Level lembaga merupakan level yang berkaitan dengan hubungan organisasi dengan lingkungannya. Hal ini penting untuk kepentingan legitimasi dan dukungan masyarakat terhadap sekolah.

1.Institutional Integrity

Institutional integrity merujuk kepada keutuhan segenap program pendidikan di sekolah. Sekolah tidak menjadi sasaran empuk dan mampu melindungi diri secara sukses dari berbagai serangan dan tekanan kekuatan eksternal yang merugikan.

B. Level Manajerial

Level manajerial merujuk kepada kegiatan untuk menjembatani dan mengendalikan usaha-usaha internal organisasi sekolah. Kepala sekolah merupakan petugas adminitratif yang utama di sekolah, yang harus dapat menemukan cara-cara terbaik untuk mengembangkan loyalitas, kepercayaan dan motivasi guru, serta dapat mengkoordinasikan setiap pekerjaan di sekolah.

2. Principal Influence

Principal influence merujuk kepada kemampuan kepala sekolah untuk mempengaruhi tindakan para atasan. Kepala sekolah dapat bertindak persuasif, bekerja secara efektif dengan atasan, dan menunjukkan kemandiriannya (independensi) dalam berfikir dan bertindak.

3. Consideration

Consideration merujuk pada perilaku kepala sekolah yang bersahabat, suportif, terbuka dan kolegial.

4. Initiating Structure

Initiating Structure merujuk pada perilaku kepala sekolah yang berorientasi pada tugas dan prestasi. Kepala sekolah memiliki sikap dan ekspektasi yang jelas tentang prosedur dan standar kinerja bawahannya (guru).

5.Resource Support

Resource Support merujuk pada ketersediaan bahan-bahan atau perlengkapan yang diperlukan dan digunakan untuk kepentingan pembelajaran di kelas secara memadai.

C. Level Teknis

Level teknis berkaitan dengan proses belajar mengajar dan tanggung jawab guru terhadap pendidikan siswa sebagai produk sekolah.

6. Morale

Morale merujuk pada rasa saling percaya, percaya diri, semangat, dan persahabatan yang diperlihatkan para guru dan Para guru memiliki kepekaan terhadap pencapaian prestasi kerjanya

7. Academic Emphasis

Academic Emphasis merujuk pada usaha sekolah untuk menekankan pencapaian prestasi, khususnya prestasi akademik para siswanya. Lingkungan pembelajaran ditata secara sungguh-sungguh. Guru-guru merasa yakin terhadap kemampuan siswanya untuk meraih prestasi, para siswa bekerja keras dan pemberiaan penghargaan kepada setiap orang yang mampu menunjukkan prestasi akademiknya.

Kebalikan dari sekolah sehat adalah sekolah tidak sehat, Fred C. Lunenburg dan Allan C. Ornstein (2004) menyebutnya sebagai ”Sekolah Sakit” Ciri-ciri sekolah yang tidak sehat atau sakit adalah :

Pada level lembaga, sekolah mudah diserang oleh kekuatan-kekuatan luar yang bersifat destruktif (merusak). Kepala sekolah, guru-guru dan staf tata usaha diberondong hal-hal yang tidak rasional oleh orang tua dan kelompok masyarakat tertentu dan sekolah tidak memiliki kemampuan untuk menghadapi tekanan-tekanan tersebut.

Pada level manajerial, kepala sekolah tidak mampu menyediakan kepemimpinannya secara memadai, dalam arti kurang memberikan pengarahan, perhatian dan dukungan terhadap guru yang rendah, bekerja di bawah tekanan atasan.

Pada level teknis, moral atau semangat kerja guru sangat rendah, para guru kurang memperhatikan tentang pekerjannya. Mereka bertindak sendiri-sendiri, saling curiga, dan defensif (selalu mempertahankan atau membela diri). Dalam upaya mencapai keunggulan akademik sangat terbatas. Singkatnya, bahwa dalam sekolah sakit, setiap orang akan berfikir dan bertindak “bagaimana nanti”

Sumber :

Fred C. Lunenburg dan Allan C. Ornstein .2004. Educational Administration : Concepts and Practices. Singapore : Wadsworth.

Wayne K. Hoy dan Cecil G. Miskel. 2003. Educational Administration : Theory, Research and Practice, Singapore : McGrawHill

13 ciri sekolah bermutu

Merujuk pada pemikiran Edward Sallis, Sudarwan Danim (2006) mengidentifikasi 13 ciri-ciri sekolah bermutu, yaitu:
Sekolah berfokus pada pelanggan, baik pelanggan internal maupun eksternal.
Sekolah berfokus pada upaya untuk mencegah masalah yang muncul , dengan komitmen untuk bekerja secara benar dari awal.

Sekolah memiliki investasi pada sumber daya manusianya, sehingga terhindar dari berbagai “kerusakan psikologis” yang sangat sulit memperbaikinya..
Sekolah memiliki strategi untuk mencapai kualitas, baik di tingkat pimpinan, tenaga akademik, maupun tenaga administratif.
sekolah mengelola atau memperlakukan keluhan sebagai umpan balik untuk mencapai kualitas dan memposisikan kesalahan sebagai instrumen untuk berbuat benar pada masa berikutnya
Sekolah memiliki kebijakan dalam perencanaan untuk mencapai kualitas, baik untuk jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang.
Sekolah mengupayakan proses perbaikan dengan melibatkan semua orang sesuai dengan tugas pokok, fungsi dan tanggung jawabnya.
Sekolah mendorong orang dipandang memiliki kreativitas, mampu menciptakan kualitas dan merangsang yang lainnya agar dapat bekerja secara berkualitas.
Sekolah memperjelas peran dan tanggung jawab setiap orang, termasuk kejelasan arah kerja secara vertikal dan horozontal.
Sekolah memiliki strategi dan kriteria evaluasi yang jelas.
Sekolah memnadang atau menempatkan kualitas yang telah dicapai sebagai jalan untuk untuk memperbaiki kualitas layanan lebih lanjut.
Sekolah memandang kualitas sebagai bagian integral dari budaya kerja.
Sekolah menempatkan peningkatan kualitas secara terus menerus sebagai suatu keharusan

Sumber:

Sudarwan Danim. 2006. Visi Baru Manajemen Sekolah: Dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik. Jakarta: Bumi Aksara

11 karakteristik manajemen sekolah

1. Karakteristik1: Perencanaan dan Pengembangan Sekolah

Perencanaan merupakan dasar bagi fungsi manajemen lain
Perencanaan merupakan pernyataan mengenai kehendak di masa depan yang ingin dicapai
Perencanaan meliputi jangka pendek, menengah dan panjang
Sekolah yang efektif memiliki rencana pengembangan sekolah yang disepakati bersama

Karakteristik 2: Iklim dan Budaya Sekolah
Penciptaan dan pemeliharaan iklim yang kondusif untuk belajar
Penciptaan norma dan kebiasaan yang positif
Penciptaan hubungan dan kerja sama yang harmonis yang didasari oleh sikap saling menghargai satu sama lain

Karakteristik 3: Harapan yang Tinggi untuk Berprestasi
Penciptaan etos positif yang dapat mendorong siswa berprestasi
Tanggung jawab yang tinggi bagi pembelajaran siswa,
Harapan yang tinggi akan pekerjaan yang berkualitas tinggi,
Pemberian perhatian pribadi kepada siswa perorangan.

Karakteristik 4: Pemantauan terhadap Kemajuan Siswa
Pemberian pekerjaan rumah kepada siswa
Terdapat prosedur penilaian yang dilakukan secara terprogram (formatif dan sumatif)
Pemberian balikan yang segera kepada siswa

Karakteristik 5: Kepemimpinan Kepala Sekolah
Sejauhmana tanggung jawab kepemimpinan diambil alih atau didelegasikan oleh kepala sekolah
Gaya kepemimpinan yang digunakan oleh kepala sekolah berperan penting.
Pendekatan kepemimpinan partisipatif

Karakteristik 6: Pengembangan Guru dan Staf
Guru merupakan fasilitator pembelajaran yang perlu dijaga kualitasnya
Pengembangan profesional guru menentukan hasil pembelajaran
Perlu adanya program pengembangan guru dan staf

Karakteristik 7: Penguatan Kapasitas Siswa
Tujuan akhir program pembelajaran adalah pada peningkatan kemampuan siswa
Pemberian kesempatan kepada siswa dalam mengembangkan potensi dirinya
Penyediaan program dalam membantu siswa yang mengalami kesulitan belajar

Karakteristik 8: Keterlibatan Orangtua dan Masyarakat
Keterlibatan orangtua merupakan stimulus eksternal yang berperan penting bagi peningkatan kualitas pembelajaran
Kerjasama orangtua dan sekolah dalam pemberian bimbingan belajar dan dalam menumbuhkan kedisiplinan kepada anak mereka

Karakteristik 9: Keterlibatan dan Tanggung Jawab Siswa
Pembelajaran hanya mungkin terjadi bilamana siswa mempunyai pandangan yang positif terhadap sekolahnya dan peranan mereka di dalamnya
Keterlibatan siswa menumbuhkan pada diri siswa rasa memiliki terhadap sekolah dan terhadap pembelajarannya sendiri

Karakteristik 10: Penghargaan dan Insentif
Pemberian penghargaan jauh lebih penting ketimbang menghukum atau menyalahkan siswa
Penghargaan dan insentif mendorong munculnya perilaku positif dan, dalam beberapa hal, mengubah perilaku siswa (dan juga guru).

Karakteristik 11: Tata tertib dan Kedisiplinan
Kesepakatan kepala sekolah dan guru terhadap kebijakan disiplin sekolah
Dukungan yang diberikan kepada guru bilamana mereka melaksanakan peraturan disiplin sekolah.

Sumber:

Arismunandar. (2006). Sistem Manajemen Sekolah (Materi Pelatihan Pengawas Sekolah)

Tujuh Sikap untuk Mencairkan Konflik di Sekolah

Diterbitkan 7 Februari 2009 psikologi pendidikan 25 Komentar
Tags: artikel, berita, umum, opini, bimbingan dan konseling, psikologi pendidikan, manajemen pendidikan, makalah

Konflik dapat diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang dihadapkan dengan motif, keyakinan, nilai dan tujuan yang saling bertentangan. Konflik bisa dialami oleh siapapun dan di manapun, termasuk oleh komunitas di sekolah. Siswa, guru, atau pun kepala sekolah dalam waktu-waktu tertentu sangat mungkin dihadapkan dengan konflik.


Konflik yang dialami individu di sekolah dapat hadir dalam berbagai bentuk, bisa dalam bentuk individu dengan individu, individu dengan kelompok atau kelompok dengan kelompok. Misalnya, seorang guru berhadapan seorang guru, seorang guru berhadapan dengan sekelompok guru, sekelompok guru tertentu berhadapan dengan sekelompok guru lainnya., dan sejenisnya. Konflik yang terjadi diantara mereka bisa bersifat tertutup, terbuka atau bahkan menjadi konfrontasi.

Apabila konflik yang terjadi di sekolah tidak terkelola dan bersifat destruktif, maka selain dapat mengganggu kesehatan dan kualitas kehidupan seseorang, juga dapat mengganggu terhadap pencapaian efektivitas dan efisiensi pendidikan di sekolah secara keseluruhan.

Terkait dengan upaya mengelola konflik di sekolah, Daniel Robin (2004) dalam sebuah artikelnya menawarkan tujuh sikap yang diperlukan untuk mencairkan konflik.

1. Define what the conflict is about

Definisikan secara jelas konflik apa yang sedang berkembang. Tanyakan pada setiap orang “Ada issue apa?”, lalu tanyakan pula “Apa kepedulian Anda di sini? atau “Apa yang kamu rasakan dan manfaat dari pertengkaran ini”. Secara berkala tanyakan pula “Apa yang ingin Anda capai dan bagamana kita harus mengerjakannya?”

2. It’s not you versus me; it’s you and me versus the problem

Memiliki keyakinan bahwa “Ini bukanlah pertentangan antara anda dengan saya, tetapi ini adalah saya bersama anda melawan masalah itu”. Masalah yang sebenarnya adalah masalah itu sendiri, yang harsus diselesaikan, bukan terletak pada orangnya. Adalah hal yang amat bodoh, jika Anda mencoba mengalahkan salah satu dari antara pihak yang berkonflik, karena suatu saat setelah mereka dikalahkan, meraka akan kembali melakukan pertempuran ulang (rematch) yang terus-menerus, yang mungkin dengan daya tembak yang lebih kuat. Jangan paksa orang untuk bertekuk lutut!

3. Identify your shared concerns against your one shared separation.

Lakukan identifikasi orang-orang yang memiliki kepedulian yang sama dengan Anda dan orang–orang yang justru berseberangan dengan Anda. Jika dihadapkan pada suatu konflik, buatlah semacam kesepakatan dengan kelompok yang memiliki hubungan paling kuat (dimana Anda menyetujuinya), tidak dengan kelompok yang paling lemah. Ini akan lebih mudah dan juga lebih efektif, apabila Anda hendak mengalihkan hal-hal yang disetujui maupun tidak disetujui. Pahami sudut pandang mereka dan berikan penghargaan atas perbedaaan yang ada.

4. Sort out interpretations from facts.

Memilah interpretasi berdasarkan fakta. Jangan meminta suatu pendapat dari orang yang sedang berkonflik, karena hanya akan memperoleh pendapat dan penafsiran versi mereka. Tetapi sebaiknya ungkapkan “Apa yang telah kamu lakukan atau katakan?” pertanyaan semacam ini akan lebih menggiring pada fakta, yang selanjutnya dapat dijadikan dasar bagi pemecahan konflik

3. Develop a sense of forgiveness.

Kembangkan rasa untuk memaafkan. Tidak mungkin terjadi rekonsiliasi tanpa belajar memaafkan kesalahan orang lain. Banyak orang melakukan perdamaian tetapi tidak bisa mengubur kejadian yang sudah-sudah sehingga pada hari kemudian memunculkan lagi pertengkaran. Oleh karena itu, setiap orang penting untuk dibelajarkan mau memaafkan orang lain secara tulus. Yang lalu biar berlalu, hari ini kenyataan dan esok hari adalah harapan!

6. Learn to listen actively

Belajar mendengar secara aktif. Putarlah paradigma dari ungkapan “ Ketika saya bicara, orang lain mendengarkan” menjadi “Ketika saya mendengarkan, orang lain berbicara kepada saya”. Mendengarkan dengan tujuan untuk memahami, bukan untuk menjawab Mulailah dengan berusaha memahami, kemudian menjadi dipahami. Setidaknya dengan cara ini, akan membantu melepaskan ego atau uneg-uneg yang bersangkutan (katarsis)

7. Purify your heart.

Terakhir, berusaha mensucikan hati. Hati yang bersih merupakan benteng utama dari berbagai serangan dari luar dan juga akan pembimbing kita dalam setiap tindakan. Anda tidak akan mendapatkan konflik atau kekerasan dari orang lain, jika dalam hati dan jiwa Anda bersemayam kebajikan. Rasa benci, iri dan dengki yang bercokol di hati kerapkali menjadi pemicu terjadinya konflik.

Tuesday, May 5, 2009

Perjuangan seorang ibu

Oleh: Wu Zhen Zhen

Siapakah perempuan yang mampu berperan sebagai dokter, sekaligus koki, ahli nutrisi, merangkap guru bagi orang-orang tertentu? Siapa pula yang bersedia melakukan semua peran itu nyaris tanpa pernah meminta honor? Sosok macam itulah yang hadir hampir di setiap keluarga, walau ia kadang tidak berada di sisi kita selamanya. Namun, kasihnya akan selalu menyertai langkah kita semua. Dari ia jugalah kita dilahirkan dan dibesarkan dengan segenap cinta. Beliau adalah tak lain seorang IBU.


Menjadi seorang ibu adalah pekerjaan yang mulia.
Ibu bagaikan dokter yang terhormat di dunia.
Beliau adalah dokter pribadi yang merawat pasiennya tanpa kenal lelah dan tanpa bayaran. Kesembuhan pasien adalah bayaran tertinggi yang ia peroleh. Lain halnya ketika kita ke RS, tanpa uang DP mana mungkin kita bisa diterima dengan lapang dada. Bahkan tidak sedikit orang yang terpaksa menahan sakit karenanya. Selain itu kejadian-kejadian malapraktek juga sering terjadi karena kelalaian dan ribuan alasan lainnya. Sedih rasanya setiap melihat, mendengar atau membaca tentang ketidakadilan ini.

Ibu adalah guru sepanjang hayat, beliau mengajarkan kita muridnya semua norma kehidupan. Tidak lupa kita dibekali dengan keterampilan dasar seperti menyapu, mencuci, dll. Semenjak kita dilahirkan, ibu mengajarkan kita akan artinya kasih sayang dengan mencium bayinya. Ibu mengajarkan tentang hal yang baik dan buruk. Ketika kita kecil, beliau mengajarkan kita cara menulis, membaca, dan berhitung. Tidak pernah bosan beliau menurunkan ilmunya hingga kita mengerti. Sebagai guru beliau juga tidak pernah meminta bayaran. Tidak seperti sekolah anak zaman sekarang yang uang sekolahnya setinggi langit. Mereka kaum yang kurang mampu banyak yang terpaksa putus sekolah karenanya.

Ibu juga berperan sebagai ahli gizi dan koki untuk anak-anaknya. Setiap hari, ketika mata terbuka beliau telah memikirkan mau makan apa hari ini. Setelah menyiapkan sarapan, apalagi untuk makan siang, begitu seterusnya. Mari kita ingat lagi apa menu hari ini? Selalu ada lebih dari satu macam lauk tersedia di meja. Semua adalah untuk pemenuhan nutrisi kita. Tidak ada seorang ibu yang tega menyediakan nasi putih saja jika kondisi keuangan masih mencukupi. Bahkan dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, ada banyak sekali ibu yang merelakan bagian makanannya demi untuk mengisi perut anaknya yang kelaparan. Bagaimana dengan Ibu Pertiwi Kita? Apakah semua anak-anaknya telah tercukupi sandang pangannya?

Bayi yang kedinginan akan berhenti menangis dalam dekapan sang bunda. Ada kehangatan di sana. Ada kenyamanan dan cinta yang begitu besar yang dirasakan.

Ibu sejati tidak akan membiarkan anaknya kelaparan.
Ibu sejati akan selalu melindungi anaknya walau nyawa adalah taruhannya.
Kasih ibu tidak akan terlupakan sepanjang napas masih berhembus.

Cobalah kita renungkan bersama.

Apakah kita telah menjadi ibu yang baik bagi anak-anak kita?
Apa pun profesi (pekerjaan) kita, hendaklah kita menanamkan jiwa seorang ‘ibu’ di dalam menunaikan tugas. Janganlah kita lupa dari mana asal kita dan oleh siapa kita dibesarkan.

Harta dan kedudukan kita dalam masyarakat tidak sebanding dengan jiwa besar ‘ibu’. Di kala kita berada di atas, hendaklah kita memperhatikan anak-anak kita yang di bawah. Cukupilah sandang pangan mereka.

Apakah seorang ibu tega melihat anaknya dalam penderitaan sementara ia berdandan dan berpesta-pora bersama ‘ibu-ibu’ yang lain?

Renungkanlah ini.
Apakah Anda ingin menjadi ‘ibu’ yang sukses atau ‘ibu’ yang gagal? Apakah ‘ibu’ yang dicintai atau sebaliknya?
Mulailah Anda menanamkan hati ‘ibu’ ini untuk pencapaian terbaik. Karena, saya yakin bahwa kita semua adalah sama.

Terakhir, ingatlah kepada siapa ‘ibu’ mempertanggungjawabkan semua perbuatanya. Dan sebagai anak, sampai di mana tanggung jawab kita terhadap ibu?
Apakah keduanya telah kita laksanakan?

Salam ‘Pembelajar’. Sukses Selalu.[wzz]

cerita anak

Greedy

There was a very greedy dog. This dog likes to take other dog's food. When it sees another dog was eating, it will chase and take the food from that dog.

One day the greedy dog was very hungry. The dog ran around looking for food. Near the marketplace, the greedy dog stole a piece of meat. The dog bit the meat and carried it home.

On its way home, the dog went through a small bridge over a creek. The water was very clear. The dog looked at the river below and saw clearly a dog's shadow on the water.

The greedy dog thought that there was another dog carrying a piece of meat...quickly the dog jumped into the water. The dog wanted to have the "other dog's" meat.

(In doing so) the dog lost the piece of meat from its mouth. The piece of meat was carried away by the river. There was no other dog. The one it had attacked was its own shadow. The greedy dog was soaking wet and with great difficulties reached the shore. The greedy dog went home sluggishly. Its stomach was getting even hungrier...


Rakus

Ada seekor anjing yang sangat rakus. Anjing itu suka merebut makanan kawannya. Kalau anjing lain mendapat daging, dikerjarnya dan direbutnya daging itu.

Pada suatu hari anjing rakus itu merasa lapar sekali. Ia berlari kesana-kemari mencari makanan. Di dekat pasar si rakus mencuri sepotong daging. Daging itu digigitnya dan dibawa pulang.

Anjing itu berjalan melalui jembatan kecil di atas sungai. Air sungai itu sangat jernih. Anjing itu melihat ke bawah. Bayangannya tampak jelas.

Si rakus mengira ada anjing lain yang menggigit daging juga...dengan cepat ia melompat ke dalam air. Ia mau merebut daging itu.

Daging yang dimulutnya terlepas, dan hanyut dibawa air. Ternyata tidak ada anjing lain. Yang diserangnya itu hanya bayangannya sendiri. Si rakus basah kuyup. Dengan susah payah ia naik ke darat. Si rakus pulang dengan lesu. Perutnya makin lapar.

pendidikan bagi ibu dan orangtua

Seorang ahli pendidikan bertanya pada tiga orang ibu yang ditunjuk dari para peserta sebuah pelatihan.


Ahli pendidikan (AP) : ''Misalkan suatu pagi Anda sedang menyiapkan
roti bakar untuk sarapan suami Anda, tiba-tiba telepon berdering,
anak Anda menangis, dan roti bakar jadi hangus. Lalu suami Anda
berkomentar : 'Kapan kamu akan belajar memanggang roti
tanpa menghanguskannya?' Kira-kira, bagaimana reaksi Anda?''

Ibu 1 : ''Langsung saya lemparkan roti itu ke mukanya!''
Ibu 2 : ''Saya akan katakan padanya, 'Bangun dan bakar sendiri rotinya!''
Ibu 3 : ''Saya rasa saya akan menangis.''

AP : ''Lalu bagaimana perasaan Anda terhadap suami Anda?''
Semua : ''Marah, benci, dan merasa dianiaya.''

AP : ''Mudahkah bagi Anda untuk menyiapkan roti bakar lagi pagi itu?''
Semua : ''Tentu saja tidak.''

AP : ''Dan jika suami Anda pergi bekerja, akan mudahkah bagi Anda
untuk membereskan rumah dan belanja kebutuhan sehari-hari dengan
lapang dada?''
Ibu 1 : ''Tidak. Saya akan merasa sumpek sekali sepanjang hari.''
Ibu 2 : ''Saya tidak akan membeli apapun untuk keperluan rumah hari itu.''

AP : ''Katakanlah bahwa roti itu memang hangus. Tetapi suami Anda
mengatakan kepada Anda, 'Tampaknya pagi ini kamu lelah ya... telepon
berdering, anak menangis, dan sekarang roti hangus', kira-kira apa
reaksi Anda?''
Ibu 1 : ''Saya tidak percaya bahwa yang berbicara itu adalah suami saya.''
Ibu 2 : ''Saya akan merasa bahagia.''
Ibu 3 : ''Saya akan merasa senang, dan saya fikir,saya akan memeluknya.''

AP : ''Mengapa Anda gembira? Bukankah anak tetap menangis, telepon
berdering, dan roti sudah hangus..?''
Semua : ''Saya tidak akan peduli dengan semua itu.''

AP : ''Lalu apa yang berbeda kali ini?''
Ibu 1 : ''Saya merasa suami saya baik sekali, karena tidak
menyalahkan saya, melainkan memahami perasaan saya. Dia berpihak
pada saya, bukan memusuhi saya.''


AP : ''Jika suami Anda pergi bekerja, akan mudahkah bagi Anda untuk
melakukan tugas-tugas rumah tangga?''
Ibu 2 : ''Saya akan melaksanakan tugas-tugas saya dengan senang
hati.''


AP : ''Sekarang, mari kita bicara tentang suami tipe ketiga.
Setelah roti itu hangus, ia memandang istrinya sambil mengatakan, 'Nih,
saya ajari kamu cara membakar roti!'''
Semua : ''Tidak. Suami macam itu lebih buruk lagi dari yang
pertama, sebab ia menganggap saya dungu.''


Saat itu, ahli pendidikan itu mengatakan :
''Bagaimana kalau apa yang suami Anda lakukan kepada Anda itu, Anda
lakukan kepada anak Anda?''


Ibu 1 : ''Sekarang saya mengerti tujuan Anda membuka dialog ini.
Saya memang selalu mengkritik anak saya, tanpa saya sadari. Saya selalu
mengatakan, 'Kamu sudah besar, sudah harus tahu bahwa apa yang
kamu lakukan itu salah'. Saya sekarang tahu mengapa ia marah dengan
kata-kata saya.''


Ibu 2 : ''Saya juga selalu mengatakan, 'Biar saya tunjukkan padamu
cara melakukan ini dan itu.' Dan sering kali anak saya marah saat
mendengarnya.''


Ibu 3 : ''Saya sering mengkritik puteri saya hingga hal itu menjadi
hal yang biasa bagi saya. Dan saya sering mengulang-ulang kalimat
yang dulu diucapkan ibu saya kepada saya, jika memarahi saya, saat
saya kecil. Dulu, saya juga sangat tidak suka mendengar ibu
mengatakannya.''


AP : ''Kalau begitu, mari kita cari tahu yang mungkin kita pelajari
dari kasus roti hangus ini. Apa yang membantu mengubah perasaan
Anda dari benci menjadi senang terhadap suami Anda?''


Ibu 1 : ''Saya yakin sebabnya adalah karena suami tidak menyalahkan
saya,tetapi dia memahami perasaan saya.''
Ibu 2 : ''Tanpa mencela saya.''
Ibu 3 : ''Tanpa mendikte saya.''


Setelah sampai pada yang dituju, ahli pendidikan itu mengatakan,
''Sekarang Anda semua mengerti bahwa apa yang Anda inginkan dari
suami Anda, itulah yang diinginkan pula oleh anak-anak kita dari
kita : PENGERTIAN dan EMPATI''.

beberapa cara mendidik anak yg kurang baik

Maaf jika hari ini saya lagi mood menulis artikel tentang pendidikan anak. Ini bukan dalam rangka apapun, tapi emang karena lagi mood aja :)

Dan maaf kalau ternyata teman-teman udah lebih tahu dari saya mengenai hal ini :)

Menurut saya, berikut adalah beberapa contoh dari cara mendidik anak yang kurang baik.

1. Jika anak terjatuh karena menyenggol meja, kita memukul mejanya dan mengatakan pada si kecil bahwa meja itu jahat.

atau:

kalau anak A memukul anak B sehingga si B menangis, kita akan (pura-pura) memukul si A di depan si B agar si B tidak menangis lagi.

Sikap seperti ini akan mendidik anak menjadi manusia pendendam. Si anak juga akan terdidik untuk menjadi manusia yang tidak pernah merasa bersalah. "Pokoknya apapun yang terjadi, yang salah adalah orang lain, bukan saya!"

2. Kalau anak terjatuh, kita akan langsung menggendongnya dan melindunginya, bersikap seolah2 si anak baru saja mengalami musibah yang sangat besar.

Sikap seperti ini akan mendidik anak menjadi manusia manja, yang tidak kuat menahan cobaan hidup. Mereka akan gampang menyerah jika menghadapi masalah.

Saya kira, biarkan sajalah kalau anak kita cuma jatuh biasa. Bilang bahwa jatuh itu biasa, dan yang ia alami tak perlu dikhawatirkan. Kecuali kalau jatuhnya keras sehingga kepalanya benjol, itu lain ceritanya, hehehehe...

3. Menakut-nakuti si anak akan adanya hantu.
Biasanya, cara seperti ini digunakan oleh orang tua jika anak mereka bandel atau tidak bisa diberitahu.

memang, dalam jangka pendek sikap seperti ini biasanya efektif. Tapi untuk jangka panjang, ini justru tidak baik. SI anak akan tumbuh menjadi seorang yang penakut. ia akan takut pada hantu, padahal hanti atau jin sebenarnya tak perlu ditakuti. Mereka adalah makhluk yang jauh lebih rendah dari manusia. Mulai sekarang, kita justru harus menamamkan pengertian pada anak bahwa hantu tak perlu ditakuti. Kita justru harus "anggap remeh" terhadap hantu.

4. Terlalu banyak melarang.
"Jangan nak, nanti kamu jatuh."
"Jangan main air dong, nanti masuk angin."
"Kok makannya belepotan gitu? Jorok tahu!"
"Itu nasi kok dibuang? Kan mubazir!"

Anak adalah jenis manusia yang sedang dalam proses belajar. Jadi wajar dong, kalau mereka sering melakukan kesalahan. Jika mereka membuang nasi misalnya, langkah terbaik bukanlah memarahi mereka dan mengatakan itu mubazir. Tapi alangkah baiknya jika kita memberitahu mereka dengan cara yang lebih menyenangkan, dan bisa diterima oleh pikiran mereka yang masih terbatas.

Terlalu banyak melarang juga akan mendidik anak menjadi manusia yang tidak berani mencoba hal-hal baru.

5. Menganggap si anak sebagai orang bodoh
Kita sering berkata, "Ah, anak kecil, Tahunya apa!"

Padahal, banyak anak kecil yang berhasil menunjukkan kehebatan mereka. Mereka berhasil membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang yang pintar dan hebat, walau usia masih amat muda.

Saya kira, kita harus menghargai eksistensi setiap anak, apalagi kalau anak sendiri! Kita justru harus memperlakukan mereka sebagai seorang manusia yang berpotensi. Kita tak pernah tahu persis, seberapa besar ilmu pengetahuan yang sudah tersimpan di kepala anak kita. Karena itu, jangan sekali-kali menganggap mereka bodoh, belum tahu apa-apa, dan sebagainya.

Dengan memperlakukan mereka secara wajar, ini akan mendidik anak menjadi seorang manusia yang percaya diri sehingga ia akan lebih mudah meraih sukses.

6. Memarahi anak jika mereka bertanya
Mungkin kita punya anak yang terlalu banyak bertanya. Karena bosan dan jengkel, kita memarahinya, mengatakan mereka cerewet, bahkan menyuruhnya untuk tidak terlalu banyak bertanya.

Padahal, anak yang cerewet atau sering bertanya, sebenarnya adalah anak yang sangat pintar. Mereka ingin tahu banyak hal. Karena itu, cobalah untuk bersabar menghadapi mereka. Jawablah pertanyaan2 mereka sebisa mungkin, dengan cara yang menyenangkan. Dengan cara seperti ini, kreativitas dan kecerdasan anak akan tumbuh dengan sewajarnya.

* * *

Adakah teman-teman hendak menambahkan, atau ingin mengoreks jika ada yang salah pada tulisan saya?

Ditunggu ya...

wassalam

Jonru

ciri-ciri istri yang baik

Ciri Istri Yang Baik

DALAM kehidupan perkawinan, suami ataupun istri punya kewajiban masing-masing. Namun, bagi mereka yang baru saja melangsungkan perkawinan, terkadang masih bingung dengan apa yang harus dilakukan. Padahal secara kondrati, pria maupun wanita sudah punya tugas masing-masing ketika akan melangsungkan perkawinan.

Adanya kewajiban berarti menandakan tanggung jawab dari kedua belah pihak yang mengisyaratkan bahwa perasaan cinta itu kini telah menyatu. Mungkin bagi mereka yang sudah lama membina mahligai rumah tangga tidaklah terlalu sulit untuk mengetahui apa kewajiban itu. Namun bagi mereka yang baru menjalani, terasa begitu kebingungan untuk memulai. Terlebih kalau semasa pacaran keduanya masih belum memahami sepenuhnya kebiasaan dan kepribadian pasangannya.

Berikut ini beberapa kewajiban yang harus dilakukan seorang istri pada suaminya. Jika Anda (istri) melihat suami marah, kecewa, kesal, cobalah Anda memulai pelaksanaan kewajiban dengan benar.

* Miliki Pengertian
Bila suami bermaksud mencari nafkah demi memenuhi kebutuhan keluarga, maka istri harus memiliki pengertian. Artinya, apa yang didapat suami dari hasil keringatnya sendiri hendaklah diterima istri dengan segala senang hati. Memang istri berhak menanyakan tentang keadaan nafkah yang dicari suami. Namun, pengertian terhadap apa yang didapat suami hendaklah menjadi bagian dari diri istri.

* Layani dengan Baik
Hanya kepada istrilah suami meminta ketentraman hati. Karenanya, istri mesti melayani suami dengan sebaik-baiknya. Tanpa itu, biasanya suami akan merasa dirinya sama sekali tak berarti di mata istri. Terlebih jika suami punya penghasilan kurang menggembirakan, dan istri lebih sering menolak hubungan intim di tempat tidur, ini tentu akan menyinggung perasaannya. Meski secara tak langsung istri juga membutuhkan hubungan intim, tapi jika layanan istri "tidak istimewa", maka suami akan merasa bahwa istrinya tidak melayani dengan sepenuh hati.

* Jaga Rahasia Suami
Melindungi rahasia suami nampaknya merupakan masalah sepele, namun hal itu bisa berisiko besar jika salah diartikan oleh orang lain. Konflik dalam rumah tangga bisa terjadi jika istri terbiasa menceritakan rahasianya kepada orang lain. Sudah jadi kebiasaan umum wanita senang ngerumpi kepada sesama wanita atau orang lain. Dari cerita hal-hal sepele, akhirnya bisa menyinggung soal "kekurangan" hubungan intim suami di rumah. Jika tahu rahasianya menjadi buah bibir, tentunya suami akan marah bahkan bisa menceraikan istri tanpa basa-basi lagi. Karenanya, jagalah rahasia suami. Jangan "kelemahan" suami di ranjang diketahui orang banyak.

* Komunikasi yang Baik
Apapun yang dilakukan suami setelah pulang kantor atau pada saat di rumah, istri harus bicara baik-baik. Terkadang ada istri yang merasa kesal jika suaminya seharian penuh berada di rumah dan tidak kerja. Padahal, kepada suami, istri justru justru bisa berbicara baik-baik. Tunjukkan bahwa istri sesungguhnya mampu untuk diajak berkomunikasi dan tukar pikiran. Ingat, jangan sampai pembicaraan menyinggung suami.

* Bersikap Sabar
Memang banyak istri bisa bersikap sabar menghadapi suaminya, namun tak sedikit pula yang cerewet. Jika Anda istri yang cerewet, maka Anda harus mulai meredam kebiasaan itu. Memang manusia tak pernah lepas dari kesalahan, namun suara keras dan ketidaksabaran istri akan membuat suasana panas akan tambah membara. Suami yang pulang dengan setumpuk masalah, ditimpa dengan masalah kecerewetan istri, tentunya akan menjadi murka. Pun jika suami memiliki kekurangan, istri mesti bersikap penuh kesabaran dengan terus memberi perhatian pada suami dan mencoba menerimanya.

* Tampil dengan Senyum
Senyum istri merupakan obat yang paling mujarab untuk menyembuhkan segala kepenatan dan kebingungan suami setelah seharian bekerja di kantor. Karenanya, istri hendaklah berusaha tampil dengan senyum setiap kali mengantar suami ke kantor dan atau menjemputnya pulang dari kantor. Ingat, senyum adalah "emas" bagi sebuah mahligai rumah tangga.

* Menciptakan Kedamaian
Sebagai pendamping, istri harus berusaha menciptakan kedamaian bagi suami. Istri juga dituntut untuk dapat menyelesaikan masalah keluarga secara bersama-sama. Keluarga yang bijak senantiasa berusaha memecahkan setiap permasalahan yang timbul dalam rumah tangganya tanpa meminta bantuan orang lain. Kedamaian yang tercipta merupakan ladang terindah bagi keharmonisan rumah tangga. Tanpa itu, segalanya akan terasa hampa dan menimbulkan kekecewaan di hati suami istri.

* Konsekuen Tanggung Jawab
Jika suami dituntut konsekuen dengan tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga, maka istri pun dituntut untuk konsekuen menjadi seorang istri yang baik dan bijaksana. Nah, jika sebelum menikah Anda -- sebagai istri -- tahu tentang kewajiban dan siap berikrar dengan tanggung jawab, rasanya tak akan sulit untuk menciptakan keharmonisan di dalam rumah tangga.

* lestari,
Sarjana Pendidikan